Ketika seseorang meninggal dunia, harta yang ditinggalkan biasanya akan turun kepada ahli waris sesuai dengan aturan yang telah diatur. Namun, bagaimana jika orang yang meninggal tersebut tidak memiliki ahli waris? Apakah harta tersebut akan menjadi harta terbengkalai?
Menurut Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pewarisan hanya terjadi setelah kematian seseorang. Prinsip pewarisan dalam KUH Perdata didasarkan pada hubungan darah. Artinya, yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah, termasuk saudara kandung, suami atau istri yang hidup terlama, dan keluarga dalam garis lurus ke atas setelah orang tua.
Pasal 852 KUH Perdata juga mengatur empat golongan ahli waris, yaitu Golongan I, II, III, dan IV. Golongan I terdiri dari suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya, Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara kandung, Golongan III terdiri dari keluarga dalam garis lurus ke atas, dan Golongan IV terdiri dari paman dan bibi serta saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya.
Jika tidak ada ahli waris yang sah yang dapat membuktikan hubungan darah dengan pewaris, maka harta tersebut akan menjadi harta terbengkalai. Pasal 1127 KUH Perdata mengatur bahwa Balai Harta Peninggalan bertanggung jawab untuk mengurus harta peninggalan yang tidak terurus. Jika setelah tiga tahun tidak ada ahli waris yang muncul, maka harta tersebut akan diambil alih oleh negara.
Dengan demikian, penting bagi setiap orang untuk merencanakan warisannya dengan baik agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Pewarisan yang diatur secara jelas dan transparan akan memudahkan proses pembagian harta dan mencegah terjadinya harta terbengkalai. Jangan sampai harta yang telah susah payah dikumpulkan selama ini menjadi sia-sia karena tidak ada ahli waris yang sah yang dapat menerima warisan tersebut.